Kamis, 12 November 2020

Kisah Tragis Meninggalnya Pangeran Ngabehi Joyokusumo Putra Hamengku Buwono II

 


Kisah ini diambil dari sebuah karya fiksi fenomenal Sang Pangeran dan Jenissary Terakhir tulisan Salim A. Fillah. Meski sebuah karya fiksi, tulisan Salim A. Fillah ini mengandung fakta, data dan informasi yang dikemas dengan bahasa yang mendramatisasi suasana, layaknya sebuah novel ataupun sebuah karya fiksa pada umumnya. Namun meski sebuah karya fiksi, fakta dan sumber sejarah yang diambil oleh penulis diakui sangatlah cukup hebat. Membacanya akan menambah khasanah bahasa, karena Salim A. Fillah menggunakan beberapa istilah dalam bahasa asing seperti Belanda, Arab, Mesir, Perancis, maupun bahasa daerah seperti bahasa Jawa dan Sunda.

Bab empat dari buku ini mengkisahkan tentang tragedi syahidnya antara bapak dan kedua putranya. Mereka adalah Pangeran Ngabehi Joyokusumo, Raden Mas Adi Kusumo dan adiknya Raden Mas Joyokusumo. Pangeran Ngabehi yang tidak lain adalah putra Sultan Hamengku Buwono II dari garwo selir, diketahui sebelum syaihid mereka bertiga ini adalah penasehat ketentaraan yang amat cemerlang sekaligus penanggung jawab penyedia amunisi pasukan mujahidin Pangeran Diponegoro. Ia memilih untuk ikut bergerilnya, bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro hingga pada akhirnya ia menjadi salah satu sasaran utama tentara Belanda.

Salim A. Fillah menggambarkan tentang tragisnya akhir hayat mereka bertiga. Dikemas dengan bahasa yang dramatis, seolah imaji masuk pada suasana sesungguhnya dengan ilustrasi kondisi Jawa tempo dulu. Dimulai dari kisah ditemukannya jasad Pangeran Ngabehi dan dua putranya di sebuah jurang kecil yang menjadi tepian tanah lapang dari sebuah pertempuran sengit antara pasukan Pangeran Ngabehi dengan pasukan Belanda. Peristiwa itu terjadi pada 21 September 1829 di Pegunungan Kelir, tatkala 20 an pasukan pengawal Raden Ngabehi berhasil ditangkap oleh pasukan gabungan Hulptroepen Belanda kemudian senjata mereka dilucuti. Ketika ada satu dua orang dari pengawal yang mecoba untuk melawan, peluru pasukan Belanda langsung menyasar di kepalanya.

Awal tragis kematian putra Raja Mataram itu dimulai ketika seorang komandan Hulptroepen bernama Kapitan Joost meminta kepada Pangeran Ngabehi beserta dengan kedua putranya untuk berlutut dan menyerahkan senjata – senjata mereka. 

Namun Pangeran Ngabehi justeru berkata “Kami ini adalah para Kanjeng Gusti” . Joost pun kemudian menembak ke arah pohon dengan berteriak “Tidak ada kanjeng Gusti di kalangan pemberontak! Kalian tidak punya hak!” seru Kapitan Joost. Tidak sampai di situ, Raden Mas Joyokusumo pun menimpali Kapitan Joost “Kalianlah para kafir murtad penjilat yang tidak punya hak untuk membatalkan apa yang sejak lahir telah melekat”

Ternyata ucapan putra Raden Ngabehi itu membuat Kapitan Joost murka. Raden Mas Joyokusumo pun dibantingnya hingga terjatuh. Belum puas, Kapitan Joost menendang wajah putra Raden Ngabehi itu hingga mata Joyokusumo serasa pecah, bibirnya seperti terbelah dan hidungnya remuk berdarah.

Tak kuasa melihat adiknya menjadi sasaran amuk oleh Kapitan Joost, Raden  Mas Adikusumo mencoba untuk mencabut kerisnya dan menyerang ke arah Joost. Tapi malang nasib Raden Mas Adikusumo,  peluru tajam milik Joost lebih dahulu bersarang di lehernya hingga membuatnya meregang nyawa. Melihat kedua putranya hendak menemui syahid, Pangeran Ngabehi berteriak “Ya Allah .... Ya Allah... Gusti Allah”

Teriakan Pangeran Ngabehi disambut dengan sepakan Joost hingga mengenai tubuhnya dan membuatnya dari berlutut menjadi posisi bersujud, namun wajah Pangeran Ngabehi masih tetap mendangak. Lebih memilukan lagi tatkala Salim A. Fillah menceritakan tatkala Joyokusumo berusaha bangun menuju kakaknya yang sudah tak berdaya ditembus peluru, segerombolan serdadu Belanda bergegas untuk saling berebut menghampiri Joyokusumo dengan bayonet karatnya hingga melukai sedikitnya tujuh luka tusuk mengenai dada, perut dan pinggang Joyokusumo. Kekuatan Joyokusumo ternyata masih cukup untuk membuatnya berdiri hingga darah dari luka sayatan bayonet tentara Belanda mengalir cukup deras. 

Dalam berdirinya ia lalu terbatuk menyemburkan cairan darah kental merah sambil terbata mengucapkan “Laa.. ilaa.. ha illallaah... Muham.. madur... Rasuu.. lullah...”  sambil menuju ke jasad sang kakak, Raden Adikusumo.

Pangeran Ngabehi yang dengan jelas melihat kedua putranya menjadi bulan bulanan tentara musuh, hingga akhirnya giliran ia sendiri  menjadi sasaran kapten Prager “Dhuarrr.....” sebuah pistol ditembakkan tepat di belakang pungguh Pangeran Ngabehi dan langsung menembus jantungnya. Kanjeng Pangeran Ngabehi yang merupakan Putra Sultan Hamengku Buwana II pun mengakhiri hidupnya dengan menelungkup sujud.

Dalam sebuah kisah sejarah diceritakan bahwa ketiganya dipenggal oleh tentara Hulptroepen. Berita tentang mustaka ketiganya ada yang bilang dibawa oleh pasukan Belanda dengan dipancang di atas bambu runcing dibawa ke Markas Magelang kemudian diserahkan ke Kraton. Oleh Kraton kemudian dikuburkan di Banyusumurup. Namun ada yang mengatakan bahwa mustaka mereka bertiga dikubur oleh penduduk desa yang menemukannya.

 

 

2 komentar:

Sultan Baybars Dari Dinasti Mamluk; Penangkis Ancaman Crusader dan Mongol (Part 1)

  Sultan Baybar Nama lengkapnya adalah Al-Malik az-Zahir Ruknuddin Baybars al-Bunduq , adalah pendiri Dinasti Mamluk di Mesir generasi ke em...