Kisah ini diambil dari sebuah karya fiksi fenomenal Sang Pangeran dan Jenissary Terakhir tulisan Salim A. Fillah. Meski sebuah karya fiksi, tulisan Salim A. Fillah ini mengandung fakta, data dan informasi yang dikemas dengan bahasa yang mendramatisasi suasana, layaknya sebuah novel ataupun sebuah karya fiksa pada umumnya. Namun meski sebuah karya fiksi, fakta dan sumber sejarah yang diambil oleh penulis diakui sangatlah cukup hebat. Membacanya akan menambah khasanah bahasa, karena Salim A. Fillah menggunakan beberapa istilah dalam bahasa asing seperti Belanda, Arab, Mesir, Perancis, maupun bahasa daerah seperti bahasa Jawa dan Sunda.
Bab empat dari buku ini mengkisahkan tentang tragedi syahidnya antara bapak
dan kedua putranya. Mereka adalah Pangeran Ngabehi Joyokusumo, Raden Mas Adi
Kusumo dan adiknya Raden Mas Joyokusumo. Pangeran Ngabehi yang tidak lain
adalah putra Sultan Hamengku Buwono II dari garwo selir, diketahui sebelum
syaihid mereka bertiga ini adalah penasehat ketentaraan yang amat cemerlang
sekaligus penanggung jawab penyedia amunisi pasukan mujahidin Pangeran
Diponegoro. Ia memilih untuk ikut bergerilnya, bergabung dengan pasukan
Pangeran Diponegoro hingga pada akhirnya ia menjadi salah satu sasaran utama
tentara Belanda.
Salim A. Fillah menggambarkan tentang tragisnya akhir hayat mereka bertiga.
Dikemas dengan bahasa yang dramatis, seolah imaji masuk pada suasana
sesungguhnya dengan ilustrasi kondisi Jawa tempo dulu. Dimulai dari kisah
ditemukannya jasad Pangeran Ngabehi dan dua putranya di sebuah jurang kecil
yang menjadi tepian tanah lapang dari sebuah pertempuran sengit antara pasukan
Pangeran Ngabehi dengan pasukan Belanda. Peristiwa itu terjadi pada 21 September
1829 di Pegunungan Kelir, tatkala 20 an pasukan pengawal Raden Ngabehi berhasil
ditangkap oleh pasukan gabungan Hulptroepen Belanda kemudian senjata
mereka dilucuti. Ketika ada satu dua orang dari pengawal yang mecoba untuk
melawan, peluru pasukan Belanda langsung menyasar di kepalanya.
Awal tragis kematian putra Raja Mataram itu dimulai ketika seorang komandan Hulptroepen bernama Kapitan Joost meminta kepada Pangeran Ngabehi beserta dengan kedua putranya untuk berlutut dan menyerahkan senjata – senjata mereka.
Namun
Pangeran Ngabehi justeru berkata “Kami ini adalah para Kanjeng Gusti”
. Joost pun kemudian menembak ke arah pohon dengan berteriak “Tidak ada
kanjeng Gusti di kalangan pemberontak! Kalian tidak punya hak!” seru
Kapitan Joost. Tidak sampai di situ, Raden Mas Joyokusumo pun menimpali Kapitan
Joost “Kalianlah para kafir murtad penjilat yang tidak punya hak untuk
membatalkan apa yang sejak lahir telah melekat”.
Ternyata ucapan putra Raden
Ngabehi itu membuat Kapitan Joost murka. Raden Mas Joyokusumo pun dibantingnya
hingga terjatuh. Belum puas, Kapitan Joost menendang wajah putra Raden Ngabehi
itu hingga mata Joyokusumo serasa pecah, bibirnya seperti terbelah dan
hidungnya remuk berdarah.
Tak kuasa melihat adiknya menjadi sasaran amuk oleh Kapitan Joost, Raden Mas Adikusumo mencoba untuk mencabut kerisnya
dan menyerang ke arah Joost. Tapi malang nasib Raden Mas Adikusumo, peluru tajam milik Joost lebih dahulu
bersarang di lehernya hingga membuatnya meregang nyawa. Melihat kedua putranya
hendak menemui syahid, Pangeran Ngabehi berteriak “Ya Allah .... Ya
Allah... Gusti Allah”
Teriakan Pangeran Ngabehi disambut dengan sepakan Joost hingga mengenai tubuhnya dan membuatnya dari berlutut menjadi posisi bersujud, namun wajah Pangeran Ngabehi masih tetap mendangak. Lebih memilukan lagi tatkala Salim A. Fillah menceritakan tatkala Joyokusumo berusaha bangun menuju kakaknya yang sudah tak berdaya ditembus peluru, segerombolan serdadu Belanda bergegas untuk saling berebut menghampiri Joyokusumo dengan bayonet karatnya hingga melukai sedikitnya tujuh luka tusuk mengenai dada, perut dan pinggang Joyokusumo. Kekuatan Joyokusumo ternyata masih cukup untuk membuatnya berdiri hingga darah dari luka sayatan bayonet tentara Belanda mengalir cukup deras.
Dalam berdirinya ia lalu
terbatuk menyemburkan cairan darah kental merah sambil terbata mengucapkan “Laa..
ilaa.. ha illallaah... Muham.. madur... Rasuu.. lullah...” sambil menuju ke jasad sang kakak, Raden
Adikusumo.
Dalam berdirinya ia lalu terbatuk menyemburkan cairan darah kental merah sambil terbata mengucapkan “Laa.. ilaa.. ha illallaah... Muham.. madur... Rasuu.. lullah...” sambil menuju ke jasad sang kakak, Raden Adikusumo.
Pangeran Ngabehi yang dengan jelas melihat kedua putranya menjadi bulan
bulanan tentara musuh, hingga akhirnya giliran ia sendiri menjadi sasaran kapten Prager “Dhuarrr.....”
sebuah pistol ditembakkan tepat di belakang pungguh Pangeran Ngabehi dan
langsung menembus jantungnya. Kanjeng Pangeran Ngabehi yang merupakan Putra
Sultan Hamengku Buwana II pun mengakhiri hidupnya dengan menelungkup sujud.
Dalam sebuah kisah sejarah diceritakan bahwa ketiganya dipenggal oleh
tentara Hulptroepen. Berita tentang mustaka ketiganya ada yang bilang
dibawa oleh pasukan Belanda dengan dipancang di atas bambu runcing dibawa ke
Markas Magelang kemudian diserahkan ke Kraton. Oleh Kraton kemudian dikuburkan
di Banyusumurup. Namun ada yang mengatakan bahwa mustaka mereka bertiga dikubur
oleh penduduk desa yang menemukannya.
MasyaAllaaah... Luar biasaa...
BalasHapusꦩꦠꦸꦂ ꦤꦸꦮꦸꦤ꧀
Hapus