Sosok Maria Al-Qibthiyah r.a.
Sepulang dari Perjanjian Hudaibiyyah pada bulan Dzulqa‘dah tahun ke-6 H, Rasulullah mengutus Hathib ibn Abi Balta‘ah r.a. untuk menghadap Raja Muqauqis, seorang penguasa suku Qibthi di Alexandria, Mesir. Beliau mengirimkan sebuah ajakan tertulis untuk masuk Islam. Singkat cerita, setelah membaca surat dari beliau, sang Raja mengatakan bahwa ajakan Nabi tersebut sangat baik. Lalu, Raja itu mengambil surat Nabi yang sudah dicap dan meletakkannya di dalam bejana yang terbuat dari gading gajah. Kemudian, dia meletakkan cap di atas surat balasannya, lalu menyerahkannya kepada hamba sahaya perempuan yang hendak dihadiahkan kepada Nabi Saw.
Walaupun pada akhirnya sang Raja tidak masuk Islam, dia
mengirimkan hadiah Maria Al-Qibthiyah, dan saudarinya, Sirin. Dia juga
menghadiahkan keledainya, Ya‘fur, dan kudanya yang putih (bughlah) yang sangat
langka bernama Daldal.
Muhammad ibn ‘Umar berkata, “Seorang ahli ilmu yang bernama Abu Sa‘id menceritakan kepadaku bahwa Maria berasal dari Desa Anshina.”
Kebaikan Maria Al-Qibthiyah r.a. dan Cinta Rasulullah
Saw. Kepadanya
Abdullah ibn Abdul Rahman ibn Abi Sha‘sha‘ah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. sangat terpukau dengan Maria Al-Qibthiyah. Dia adalah seorang perempuan yang berkulit putih, berambut keriting, dan berparas cantik. Pertama kali, Maria dan saudarinya tinggal di rumah Ummu Sulaim binti Malhan. Ketika mereka berada di rumah tersebut, Rasulullah Saw. mengajak keduanya untuk masuk Islam. Lalu, keduanya menerima ajakan itu, dan memeluk Islam. Nabi bermalam bersama Maria dengan status milk al-yamîn (hamba sahaya). Lalu, beliau mengubah status Maria menjadi istrinya di kalangan keluarganya. Maria adalah seorang perempuan yang memiliki pemahaman agama yang bagus. Rasulullah Saw. menghadiahkan saudarinya, Sirin, kepada Hassan ibn Tsabit, sang penyair. Dari Sirin, lahirlah seorang anak bernama Abdul Rahman.
Sedangkan Maria sendiri melahirkan seorang anak bernama Ibrahim. Pada hari yang ketujuh dari tanggal kelahiran anaknya, Rasulullah Saw. Menunaikan aqiqahnya dengan menyembelih dua ekor domba yang besar, mencukur rambut bayi, dan bersedekah kepada orang miskin dengan harta senilai perak yang seukuran dengan timbangan rambut Ibrahim yang telah dicukur. Selain itu, beliau menyuruh agar rambutnya dikubur. Lalu, beliau menamai bayi tersebut dengan Ibrahim.
Ibrahim adalah putra beliau satu-satunya yang lahir selepas beliau diangkat sebagai utusan Allah. Betapa gembira beliau menerima karunia Allah tersebut. Apalagi, kala itu usia beliau telah memasuki kepala enam. Kelahiran Ibrahim merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Dengan kelahiran putranya itu, perhatian beliau menjadi sangat besar terhadap sang putra dan juga ibunya. Dan hal itu membangkitkan kecemburuan istri-istri beliau yang lainnya terhadap Maria Al-Qibthiyah
Kecemburuan Rasulullah Saw. terhadap Maria Al-Qibthiyah
r.a.
Abdullah ibn ‘Amr menceritakan bahwa Maria Al- Qibthiyah memiliki saudara laki-laki yang menyertainya datang dari Mesir. Laki-laki tersebut memeluk ajaran Islam dan dikenal sebagai seorang Muslim yang baik. Hanya saja, dia masih sering mengunjungi Maria ke kamarnya. Hingga suatu ketika, Rasulullah Saw. masuk ke rumah Maria—saat itu dia sedang mengandung Ibrahim, lalu beliau mendapati laki-laki tersebut sedang berada di sana. Sontak saja, sebagai seorang laki-laki yang normal, kecemburuan Nabi Saw. muncul seketika. Sehingga, beliau keluar rumah dengan roman muka yang memerah.
Melihat hal tersebut, Umar bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa roman wajahmu berubah?” Lalu Nabi Saw. menjelaskan perihal saudara dekat Maria. Setelah mendengar jawaban Rasulullah Saw., Umar langsung menghunuskan pedangnya, dan bergegas menuju rumah Maria. Ketika didapati seorang laki-laki sedang berada di sana, Umar menarik pedangnya untuk mengancam laki-laki tersebut. Namun, belum sampai hunusannya tertancap, laki-laki tersebut malah menyerahkan dirinya. Umar pun merasa iba, dan kembali menemui Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar