Siapa yang tak mengenal Chairil Anwar, pujangga yang
berkarya sejak nasionalisme bangsa Indonesia bergolak menuju kemerdekaan.
Suasana revolusioner penjajahan Jepang hingga agresi militer Belanda I dan II
menemani tulisan – tulisan sajaknya yang dikenang sampai hari ini. Puisinya
yang mencirikan kebebasan dan pemberontakan akan kemapanan dikemas dengan
bahasa – bahasa baru yang lebih merdeka.
Dia tidak terikat dengan bahasa yang baku, namun tetap
memiliki kedalaman makna. Meski umurnya tidak panjang akibat penyakit yang
dideritanya, 27 tahun mampu membuatnya menjadi seorang pujangga terkenal yang
karnyanya abadi.
Komplikasi infeksi paru – paru, tifus, luka usus dan raja
singa membuat kehidupan bohemiannya yang liar harus berakhir di usia muda.
Namun mati mudanya tidak lantas menghilang justeru mengekalkan imaji dirinya
selaku pemberontak terhadap adat – istiadat, nilai, dan kemapanan Pujangga
Baru.
Seperti halnya dengan Ludwing van Beethoven dalam bidang
musik, Chairil menjadi lambang pemberontakan pembaruan tidak saja di dunia
syair, namun juga dalam hal bahasa. Chairil menjadi sosok yang mengkampanyekan
lahirnya penyair dan sastrawan yang membuang warisan angkatan Pujangga Baru
untuk mengadopsi nilai – nilai baru angkatan ’45.
Chairil menghadirkan kata “mampus” dan “hambus”
yang dipinjamnya dari bahasa daerah; kata – kata kasar, umpatan yang biasa
diteriakkan di pasar, dalam sajak – sajaknya yang menggelegar. Namun itulah
justeru yang menjadi kehebatan Chairil yang mampu memasukkan kosa kata baru di
dalam sajak – sajaknya.
Malang, sajak sajaknya yang indah harus berakhir pada 28
April 1949. Sang “binatang jalang” menyerah pada penyakit yang menggerogoti
tubuhnya. Ia pergi meninggalkan karya yang luar biasa. Salah satu diantara karyanya
yang fenomenal ; Aku, deru campur debu, aku Karawang –
Bekasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar