Senin, 17 Oktober 2011

Qira'at Al-Qur'an




BAB I
PENDAHULUAN
Al – Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Ini adalah suatu hal yang wajar karena Al – Qur’an diturunkan di tengah – tengah umat yang berbahasa Arab melalui Nabi yang berbahasa Arab, sekalipun ini bukan berarti bahwa Islam hanya untuk orang Arab saja. Namun dalam bahasa Arab sendiri memiliki ragam bahasa yang terkandung di dalamnya, karena di Arab sendiri memiliki suku yang cukup banyak sehingga menimbulkan keragaman pula. Qira’at Al-Qur’an adalah suatu ilmu yang membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Kadang – kadang, suatu kata yang terdapat dalam Al-qur’an dibaca lebih dari satu cara, sesuai dengan yang pernah diajarkan oleh Nabi. Dia menegaskan bahwa “Al – Qur’an diturunkan atas tujuh huruf”. Kebolehan membaca Al Qur’an dengan berbagai cara adalah suatu kelapangan yang Allah berikan kepada umat Islam, terutama pada orang Arab pada masa Al – Qur’an diturunkan.


BAB II
ISI
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH QIRA’AT AL – QUR’AN
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Secara istilah, Al Zarqani mengemukakan definisi qira’ah sebagai berikut : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al – qur’an al – karim serta sepakat riwayat – riwayat dan jalur – jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf – huruf maupun dalam pengucapan keadaan – keadannya” . Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksudkan menyangkut bacaan ayat – ayat al – qur’an. Cara membaca al – qur’an berbeda dari satu imam dengan imam qira’ah yang lain. Kedua, cara bacaan yang dianut dalam suatu mazhab qira’ah didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qira’ah - qira’ah bisa terjadi dalam pengucapannya dalam berbagai keadaan.
Di samping itu, Ibn al –Jazari membuat definisi berikut : “Qira’at adalah pengetahuan tentang cara – cara melafalkan kalimat – kalimat Al – Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya”. Menurut dia, Al – Muqri adalah seorang yang mengetahui qiraah-qiraah dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab Al Taisir misalnya, ia belum dapat meriwayatkan isinya selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak dapat menyampaikan kepadanya secara lisan pula dengan periwayatan yang bersambung – bersambung. Sebab, dalam masalah qira’ah banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan. Al Qari al – Mubtadi adalah orang yang mulai melakukan personifikasi tiga qiraah. Al – Muntahi ialah orang yang mentransfer kebanyakan qiraah atau qiraah – qiraah yang paling termasyhur. Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara membaca al – Quran. Sebagian mengambil satu cara bacanya dari Rasul, sebagian mengambil dua, dan yang lainnya mengambil lebih, sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing – masing.
Para sahabat berpencar ke berbagai kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca menjadi populer di kota atau di daerah tempat mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan cara baca Al – Qur’an dari suatu kota ke kota yang lain. Kemudian, para Tabi’in menerima cara baca tertentu dari sahabat tertentu. Para tabi’i al Tabi’in menerimanya dari tabi’in dan meneruskannya pula pada generasi berikutnya. Dengan demikian tumbuhlah berbagai qira’ah yang kesemuanya berdasarkan riwayat. Hanya saja, sebagian menjadi popular dan yang lain tidak. Riwayatnya juga sebagian mutawatir dan yang lainnya tidak.
B. MACAM – MACAM TINGKATAN QIRA’AT
Perbedaan antara satu qira’ah dan qira’ah yang lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan – perbedaan ini sudah tentu membawa sedikit atau banyak perbedaan pada makna selanjutnya yang berpengaruh kepada hukum yang diistimbatkan daripadanya.
Meluasnya wilayah Islam dan penyebarannya para sahabat dan Tabi’in yang mengajarkan Al – Qur’an di berbagai kota menyebabkan berbagai macam Qira’ah. Perbedaan antara satu qira’ah dan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan. Para ulama menulis qira’ah – qira’ah ini dan sebagiannya menjadi masyhur sehingga lahirlah istilah “qira’at tujuh”, “qira’at sepuluh”, dan “qira’at empat belas” .
Qira’at tujuh adalah qira’at yang dibangsakan kepada tujuh orang imam yang masyhur, yaitu Nafi’ al-Madani, Ibn Katsir al-Makki, Abu ‘Amr Ibn al-‘Ala’, Ibn Amir al-Damisyqi, ‘Asyhim Ibn Abi al-Nujud al-Kufi, Hamzah Ibn Habib al-Zayyat, dan Al-Kisai. Qira’at sepuluh adalah qira’at yang tujuh ini ditambah dengan Abu Ja’far, Ya’kub al-Hadrami, Khalaf Ibn Hisyam al-Bazzar. Sedangkan qira’at yang ke empatbelas adalah qira’at yang sepuluh ditambah dengan Ibn Muhaishin, Al-Yazidi, Al-Hasan al-Bashri, dan Al-A’masy.
Al – Suyuthi mengutip Ibn al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada enam macam :
1. Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap angkatan sampai kepada Rasul. Kebanyakan qira’at adalah demikian. Menurut jumhur Ulama, qira’at yang tujuh adalah mutawatir.
2. Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatannya tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Qira’at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Ustmani. Qira’at ini populer di kalangan ahli qira’at dan mereka tidak memandangnya sebagai qira’at yang salah atau aneh.
3. Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan tulisan mushaf ustmani atau kaidah bahasa Arab. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai Al – Qur’an dan tidak wajib meyakininya.
4. Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al – Qur’an.
5. Maudhu’, yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar.
6. Mudraj, yaitu qira’at yang di dalamnya terdapat kata aatau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al – Qur’an.
Mengenai pengertian bahasa yang berbeda – beda ini, diserahkan kepada Rasul, karena beliau telah diberi tahu oleh Allah. Maka ketika seorang Huzayl membaca di hadapan Rasul “’Atta Hin”, padahal ia menghendaki “Hatta Hin”, Rasul pun membolehkannya, sebab memang begitulah orang Huzayl mengucapkan dan menggunakan.
Ketika seseorang membaca “’Alayhum” dan “Fihum” dengan dhammah, dan orang lain membaca “’Alayhum” dan “Fihimu” disambung, Rasulullah pun membolehkannya, sebab demikianlah mereka mengucapkan dan menggunakannya.
Ketika seorang qari’ membaca “Qad aflaha” dan Qul uhiya, dengan memindahkan harakat huruf hamzah kepada huruf sebelmnya sehingga menjadi “Qadaflaha dan Quluhiyya, Rasul pun memboleehkannya, sebab demikian mereka mengucapkan dan menggunakan.
C. SYARAT – SYARAT QIRA’AT
Untuk menangkal penyelewengan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan – persayaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan antara qira’at yang benar dan qira’at yang aneh. Para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar.
a) Pertama, qira’at itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu jalan.
b) Kedua, qira’at itu sesuai dengan salah satu mushaf – mushaf Ustmani sekalipun secara potensial.
c) Ketiga, bahwa sahih sanadnya, baik diriwayatkan dari Imam qira’at yang berterima selain mereka. Setiap qira’at yang menerima qira’at ini adalah qira’at yang benar dan tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat ini disebut sebagai qira’at yang lemah atau aneh atau batal, baik qira’at tersebut diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh maupun dari Imam yang lebih besar dari mereka.
Inilah pendapat yang benar menurut Imam – Imam yang meneliti dari kalangan salaf dan khalaf. Demikian ditegaskan oleh al-Dani, Makki, Al-Mahdi, dan Abu Syamah. Bahkan, menurut al-Suyuthi, pendapat ini menjadi mazhab salaf yang tidak diketahui seorangpun dari mereka menyalahinya.
D. HIKMAH BANYAKNYA BENTUK BACAAN
Banyak kalangan orientalis yang menjadikan perbedaan qira’at sebagai bahan mengkritik Al – Qur’an dan menanamkan keragu – raguan dalam masyarakat Islam terhadap Al – Qur’an. Mereka mengatakan, “bahwa perbedaan qira’at itu muncul disebabkan oleh tidak adanya tanda I’rab dan I’jam pada huruf – huruf Al – Qur’an mulai ketika ia turun sampai kepada masa pemberian tanda baca dan I’jam; orang – orang membaca sesuai dengan pikirannya, sehingga munculah perbedaan – perbedaan itu.” Hal ini merupakan bagian dari usaha para orientalis menanamkan keragu – raguan pada masyarakat Islam terhadap Al – Qur’an. Bervariasinya qira’at merupakan faedah dan manfaat bagi umat Islam. Al – Qathan menyebutkan empat macam faedah, yaitu sebagai berikut :
a. Meringankan dan memudahkan umat Islam dalam membaca Al – Qur’an; suatu lafal yang sulit diucapkan dapat diganti dengna lafal yang mudah.
b. Menunjukkan betapa terjaganya kitab ini dari perubahan dan penyimpangan.
c. Sebagai kemukjizatan Al – Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena suatu qira’at menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa pengulangan lafal.
d. Menjelaskan hal – hal yang mungkin belum jelas dalam qira’at yang lain.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang qira’at Al – Qur’an ini dapat disimpulkan bahwa walaupun di dalam Al – Qur’an terdapat berbagai macam cara baca Al – Qur’an, namun dari keragaman tersebut masih terkandung manfaat atau faedah di dalamnya. Ayat Al – Qur’an pada kata atau lafal tertentu, dibaca dengan berbagai bentuk bacaan. Perbedaan itu meliputi: (1) Penambahan kata dalam suatu qira’at dengan qira’at yang lain kata itu tidak ada. (2) Menggunakan kata yang berbeda. (3) mendahulukan suatu kata dari kata yang lain. (4) Menggunakan huruf yang berbeda. (5) menggunakan harakat yang berbeda. (6) Menggunakan bentuk kata yang berbeda. (7) perbedaan dalam bunyi lafal.


DAFTAR PUSTAKA
Al – Ibyary, Ibrahim, Pengenalan Sejarah Al – Qur’an, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993
Ash Shabuny, Muhammad Aly, Pengantar Study Al – Qur’an(At-Tibyan), Alma’arif, Bandung, 1984
Wahid, Ramli , Ulumul Qur’an, Rajawali Pers, Jakarta, 1993
Yusuf, Kadar M, Studi Al – Qur’an, Amzah, Jakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sultan Baybars Dari Dinasti Mamluk; Penangkis Ancaman Crusader dan Mongol (Part 1)

  Sultan Baybar Nama lengkapnya adalah Al-Malik az-Zahir Ruknuddin Baybars al-Bunduq , adalah pendiri Dinasti Mamluk di Mesir generasi ke em...